Pandemi COVID-19 telah menjangkiti lebih dari 3,5 juta orang di seluruh dunia. Jumlah ini dipastikan akan terus bertambah pada beberapa bulan kedepan. Dunia bukan tanpa solusi, semua berjibaku untuk melandaikan angka infeksi. Saran untuk melakukan penjagaan jarak fisik dan jarak sosial, tidak mengusap areal muka dengan tangan, mencuci tangan dengan bersih, hingga upaya mencari solusi pengobatan terbaik telah dilakukan. Beberapa lembaga penelitian kesehatan dunia sudah melakukannya, namun belum ada yang benar-benar menghasilkan solusi, namun apresiasi perlu disampaikan atas kinerja baik ini. Nah.. Tentu saja, dibalik itu semua, menjadi pertanyaan bersama, apa yang melatarbelakangi munculnya pandemi tersebut ?
Ada banyak teori dan perdebatan mengenai kemunculan COVID-19. Sebagian mengatakan bahwa virus ini merupakan spesimen dalam penelitian yang lepas dari laboratorium penelitian Kota Wuhan; sebagian mengembangkan konspirasi bahwa COVID-19 merupakan sejata biologi buatan manusia. Kedua teori ini tidak dapat dikatakan mustahil karena kita telah memiliki alat yang cukup canggih untuk menciptakan senjata biologi dan pengembangan virus dengan tujuan penelitian. Namun kita harus menyadari bahwa evolusi mikro organisme yang membawa penyakit (patogen) dari alam liar bisa berevolusi menjadi patogen yang dapat menyerang manusia pun sangat mungkin terjadi. Hal ini tidak dapat dicegah sebelum benar-benar menginfeksi manusia.
Pada tahun 2013, Peneliti Epidemiologi Columbia University, Simon Anthony menyebutkan setidaknya di alam liar terdapat lebih dari 320.000 virus yang belum dikenali sebelumnya dan berasal dari mamalia liar. Maka peningkatan deforestasi membuat resiko kemunculan penyakit baru yang terjadi secara alamiah menjadi sangat besar dan cukup beralasan. Sebagaimana diketahui, ada serentetan wabah yang berhubungan dengan pembukaan hutan untuk menjadi lahan. Di antaranya ebola yang pertama kali terjadi di Afrika Barat, penebangan hutan Amazon di Brasil menghasilkan malaria dan wabah chagas di Amerika Latin, dan infeksi virus nipah yang pertama kali ditemukan pada tahun 1998 di Malaysia.
Virus dan Efek Deforestasi
Virus nipah tersebut berasal pada peternakan babi yang terletak dekat dengan wilayah hutan di Sungai Nipah, Malaysia dan menghasilkan wabah infeksi virus nipah. Penyebaran virus nipah berasal dari pembukaan lahan masif dan dapat membuat virus yang awalnya hanya ada di tengah hutan dapat berpindah ke tengah kota. Salah satu pembawa virus alami adalah kelelawar yang juga merupakan inang virus nipah dan COVID-19. Kelelawar hidup dalam kelompok yang sangat besar di tempat lembab seperti goa yang membuatnya cocok menjadi inang virus dan bakteri. Namun penyebaran virus bukan sepenuhnya kesalahan kelelawar atau pun binatang lainnya. Porsi kesalahan terbesar bersumber dari manusia yang melakukan pengalihan fungsi lahan menjadi jalan, peternakan, lahan pertanian yang mendekati atau bahkan berada dalam wilayah hidup hewan liar. Perpindahan virus dari hewan ke manusia akan semakin mungkin terjadi jika ada hewan perantara lain yang biasanya merupakan hewan ternak. Melalui hewan ternak yang dikonsumsi atau bersinggungan langsung dengan manusia, spill over virus dapat terjadi.
Efek deforestasi populer yang telah diketahui oleh banyak orang diantaranya adalah perubahan iklim, pemanasan global, berkurangnya sumber mata air, dan bencana seperti longsor dan banjir. Namun pembukaan lahan yang menyebabkan kontak langsung dengan hewan liar di dalam hutan tidak pernah benar-benar menjadi perhatian. Padahal ini dapat menjadi salah satu sumber kemunculan wabah-wabah baru. Secara sempit kita dapat melihat hutan sebagai tempat tinggal binatang dan tumbuhan. Namun sering mengabaikan fakta bahwa hutan juga merupakan tempat tinggal mikro organisme yang tidak pernah dikenal oleh manusia sebelumnya. Mikro organisme tersebut hanya dapat membahayakan manusia melalui adaptasi dan evolusi alami untuk menjadi patogen yang menghasilkan wabah mematikan.
Dalam jangka panjang, deforestasi menyebabkan es di Kutub Utara mencair. Setidaknya dalam seratus tahun belakangan telah menyebabkan kenaikan permukaan air laut sekitar 10-20 cm. Namun kenaikan air laut bukanlah satu-satunya dampak dari melelehnya es di Kutub Utara dan Selatan. Peneliti Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) dari Amerika Serikat, pada tahun 2007 menemukan bahwa beberapa bakteri dapat bertahan di dalam es lebih dari seratus ribu tahun. Patogen tersebut dapat hidup kembali ketika mereka muncul ke permukaan ketika es yang sebelumnya membekukan mereka mencair.
Pada tahun 2016 salah satu kelompok masyarakat di Siberia diserang oleh penyakit misterius yang menyebabkan kematian satu orang anak berusia dua belas tahun dan sembilan puluh orang diantaranya dirawat di rumah sakit. Tak lama setelahnya ditemukan bahwa penyakit yang menyerang kelompok tersebut merupakan antraks yang berasal dari rusa. Padahal, selama 70 tahun belakangan tidak terdapat sekalipun catatan serangan antraks di wilayah tersebut. Rusa-rusa tersebut terinfeksi dari bangkai rusa yang muncul ke permukaan dengan mencairnya es. Sekali lagi, kita mengabaikan fakta lain yang merupakan dampak dari deforestasi, yakni penyebaran patogen dan wabah purba yang berasal dari bangkai hewan dan manusia yang membeku selama ratusan tahun yang tidak pernah dikenali saat ini.
Patogen yang muncul akibat mencairnya es di Kutub Utara dan sumbangan dari adaptasi alami dari hewan liar di dalam hutan akan membawa wabah lain selain antraks, SARS, ebola dan COVID-19 di masa depan. Jika wabah yang muncul adalah wabah yang tidak pernah menyerang manusia sebelumnya, maka daya tahan tubuh manusia tidak akan pernah siap. Hal tersebut akan diperparah jika obat dan vaksin untuk wabah tersebut belum ditemukan. Maka dapat dipastikan, wabah akan menyebar keseluruh dunia dengan mudah. Maka dengan dukungan kemajuan alat-alat transportasi akan berakibat fatal dan menciptakan pandemi-pandemi berikutnya.
Sebagai individu yang dekat dengan isu deforestasi dan perubahan iklim, kita memiliki tanggung jawab atas pencegahan penyebaran dan kemunculan virus-virus baru. Level paling awal sebelum wabah dapat menjadi epidemi atau pandemi adalah exposure atau pembukaan. Pembukaan hanya dapat terjadi jika manusia melakukan kontak langsung dengan patogen yang terdapat di alam liar. Sebelum menjadi epidemi atau pandemi, patogen harus melewati tahapan infeksi atau serangan pada manusia dan transmisi atau infeksi antar manusia (Institute of Medicine (US) Forum on Microbial Threats, 2009). Oleh karena itu pada tahapan pembukaanlah tindakan yang bersifat pencegahan paling mudah untuk dilakukan.
Pencegahan memang membutuhkan banyak biaya dan tenaga namun pengobatan membutuhkan biaya dan tenaga yang jauh lebih besar. Namun selalu ada hal yang dapat kita lakukan untuk pencegahan. Di antaranya; menjaga kekayaan biodiversitas, menurunkan tingkat deforestasi, mencegah pemanasan global, tidak melakukan kontak langsung dengan hewan liar, baik dalam bentuk perburuan komersil ataupun untuk kebutuhan pangan, dan tidak mendomestikasi hewan liar. Jika deforestasi tidak dikendalikan, maka dapat dipastikan COVID-19 bukanlah pandemi terkahir dalam sejarah peradaban homo sapiens (Manusia Bijak, atau manusia Modern saat ini).
sumber: WARSI